Monday, May 5, 2008

Mengenal NAjis Menurut Islam



PENGERTIAN


An-Najasat itu dari kata tunggalnya ialah an-najasah
yang maknanya ialah benda-benda najis. Adapun yang dikatakan
benda-benda najis itu ialah benda-benda yang bila pakaian atau tubuh
kita atau tempat ibadah tersentuh dengannya, harus dicuci dengan air
atau digosokkan dengan tanah sehingga baunya, warnanya dan
tanda-tandanya telah hilang.


Benda-benda
najis itu ialah benda-benda yang kotor dan dianggap najis oleh Allah
dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tetapi ada pula
benda-benda yang dianggap kotor oleh keumuman manusia, tetapi tidak
dianggap najis oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu yang najis
pastilah kotor, sedangkan yang kotor itu belum tentu najis.


Karena penetapan tentang
sesuatu itu najis atau bukan adalah perkara yang berkaitan langsung
dengan syarat sahnya shalat, maka untuk menetapkan bahwa sesuatu yang
kotor itu adalah najis haruslah dengan dalil dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Dan tidak bisa sesuatu itu dianggap najis hanya karena
perasaan atau akal pikiran manusia menganggapnya kotor. (Lihat Ar-Raudlatun Nadiyyah oleh Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 9 – 10).


BENDA-BENDA YANG DIANGGAP NAJIS


Hukum asal segala
benda itu adalah halal dan suci kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang menyatakan bahwa benda itu haram atau najis. Jadi baru
dikatakan najis dan haram bila ada dalil yang menyatakan demikian. Maka
bila tidak ada dalil, berarti benda itu adalah suci dan halal. Hukum
yang demikian ini dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:


“Dia-lah Allah yang menciptakan bagi kalian segenap apa yang di muka bumi ini.” (Al-Baqarah: 29)


Dari
ayat ini dipahami bahwa pada asalnya segala perkara di muka bumi ini
diciptakan oleh Allah untuk digunakan bagi kepentingan manusia.
Sehingga segenap perkara yang ada di muka bumi adalah halal dan suci
untuk digunakan oleh manusia, kecuali yang dilarang oleh Allah untuk
digunakan manusia karena diharamkan oleh-Nya atau dianggap najis
oleh-Nya. (Lihat Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, jilid 21 halaman 535)


Dengan
kaidah hukum yang demikian inilah kita merinci benda-benda najis itu
masing-masingnya dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita
meyakini bahwa sesuatu itu adalah najis dengan kepastian ilmiah. Maka
benda-benda najis itu adalah sebagai berikut:


1). Air kencing dan kotoran manusia, dengan dalil:


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam
melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda: “Kedua kuburan ini
penghuninya sedang disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena
perkara yang besar. Adapun salah satu dari keduanya itu disiksa karena
dia tidak bersih dari air kencing ketika buang air kecil.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).


Maka membersihkan diri dari air kencing adalah wajib karena yang tidak menjalankannya disiksa dengan siksaan kubur.


Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam
bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan
sandalnya, maka sesungguhnya debu adalah yang mensucikannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Sakan, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).


Demikian dipahami makna hadits ini oleh Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam Ar-Raudlatun Nadiyah.


2). Darah haid dan nifas, dengan dalil:


Dari Khaulah bintu Yasar, dia mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku
tidak punya baju kecuali sepotong yang telah terkena darah haidku,
bagaimana ini?” Beliau bersabda: “Maka bila engkau telah berhenti dari
haid, cucilah bajumu pada bekas darah haid itu, kemudian pakailah baju
itu untuk shalat.” Khaulah bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana
bila bekas darah haid itu tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau
menjawab: “Cukuplah air pencuci itu yang mensucikannya, dan tidak perlu
mengganggumu bekasnya yang tidak bisa hilang itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta At-Tirmidzi)


3). Air liur anjing, dengan dalil:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Apabila anjing minum di bejana salah seorang dari kalian, maka cucilah bejana itu tujuh kali dengan air.” (HR. Muslim dalam Shahihnya dan dalam riwayat Ibnu Mughaffal juga dishahihkan Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam menambahkan: “Dan taburilah bejana itu dengan debu dan gosoklah dengannya setelah dicuci tujuh kali dengan air.”)


4). Madzi atau air syahwat, dalilnya ialah:


Dari Ali radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Aku adalah seorang pria yang suka keluar madzi pada
kemaluanku. Maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam
karena aku adalah suami bagi putri beliau. Maka bertanyalah orang
tersebut dan beliau menjawab: “Berwudhulah setiap hendak shalat dan
cucilah kemaluanmu.” (HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits ke 269)



Adapun pengertian madzi itu, sebagaimana Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
menerangkan: “Air berwarna putih yang encer dan lengket yang biasanya
keluar dari kemaluan ketika bermesraan suami istri atau ketika
melamunkan tentang persenggamaan atau ketika bangkit syahwat karena
ingin bersenggama. Air madzi ini keluar kadang-kadang tidak terasa.” (Fathul Bari, jilid 1 hal. 379)


5). Daging babi dan segenap yang berkaitan dengannya, dalilnya ialah firman Allah Ta`ala:


“Katakanlah hai
Muhammad, tidak aku dapati pada apa yang diwahyukan padaku pengharaman
terhadap makanan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging
babi karena daging babi itu najis, atau kefasikan dalam bentuk
disembelihnya hewan untuk selain Allah (yaitu untuk sesembahan selain
Allah).” (Al-An`am: 145)


Al-Imam Al-Alusi Al-Baghdadi rahimahullah menerangkan bahwa kata fa innahu rijsun yang artinya: “maka sesungguhnya ia itu najis” di ayat ini kembali kepada lahma khinziir yang artinya: “daging babi”. Karena yang paling dekat disebutnya sebelum kata fa innahu
(artinya: “sesungguhnya ia”) adalah daging babi. Jadi dengan ayat yang
maknanya demikian inilah madzhab Syafi`i menyakini bahwa daging babi
itu najis. (Tafsir Ruhul Ma`ani oleh Al-`Allamah Abil Fadl Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi jilid 4 hal. 289 – 290).


Lihat pula Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, demikian pula Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudlatun Nadiyyah menegaskan makna ayat tersebut seperti keterangan Al-Alusi ini.


6). Bangkai termasuk benda najis, dengan dalil:


Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Apabila kulit bangkai itu telah disamak, maka sungguh ia menjadi benda suci.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haidh bab Thaharatu Juludil Maitah bid-Dibagh)


Maka
dengan hadits ini tegaslah pengertiannya bahwa bangkai dengan kulitnya
itu adalah najis dan kulitnya menjadi suci bila telah disamak.


Demikian pengertiannya diterangkan oleh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi dalam kitab beliau Al-Hawi Al-Kabir
jilid 1 hal. 60 – 63 Babul Amiyah. Demikian pula diterangkan oleh
Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin said bin Hazm Al-Andalusi dalam Al-Muhalla bil Atsar jilid 1 halaman 128, Kitabut Thaharah, masalah ke 129. As-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menguatkan pendapat yang demikian ini ketika memberi catatan kaki pada kitab Ar-Raudlatun Nadiyyah dalam At-Ta`liqatu Radliyah jilid 1 halaman 118.


Diterangkan oleh Al-Imam Mawardi rahimahullah bahwa bangkai yang tidak najis hanyalah lima macam, yaitu:


a). Ikan dan segala jenis ikan.


b). Belalang.


c). mayat manusia.


d). Janin anak hewan yang induknya telah disembelih dengan cara yang syar’i.


e). Hewan buruan yang mati karena terlukai oleh anjing bila anjing itu dilepas dengan mengucap bismillah.


(Al-Hawi Al-Kabir jilid 1 halaman 58).


7). Air liur, air
mata dan keringat orang kafir adalah juga termasuk perkara najis dan
segenap yang berasal dari tubuh orang kafir adalah najis. Dalilnya
adalah firman Allah Ta`ala:


“Hanyalah orang-orang musyrik itu adalah najis.” (At-Taubah: 28)


Demikian Ibnu Hazm menerangkan dalam Al-Muhalla jilid 1 halaman 137 masalah ke 134.


8). Khamr atau minuman yang memabukkan juga termasuk dari benda-benda najis. Dalilnya ialah firman Allah Ta`ala:


“Hanyalah khamr dan
perjudian, dan berhala dan undian adalah perkara yang najis dari amalan
setan. Maka jauhilah ia, semoga dengan demikian kalian menjadi orang
yang menang.” (Al-Maidah: 90)


Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla
jilid 1 halaman 133 masalah ke 130. Juga menerangkan demikian Al-Imam
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibnul Arabi Al-Maliki dalam Ahkamul Qur’an jilid 2 halaman 651.


Adapun pengertian khamr itu telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dalam sabda beliau:


“Semua yang
memabukkan adalah khamr dan semua yang memabukkan adalah haram. Dan
barangsiapa yang meminum khamr kemudian mati dalam keadaan kecanduan
khamr dan belum taubat daripadanya, maka dia tidak akan minum khamr di
akhirat (yaitu khamr yang ada di surga Allah Ta`ala).” (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya)


Demikianlah
benda-benda najis yang wajib dijauhkan dari badan kita, baju kita, dan
tempat ibadah kita. Dan wajib untuk dicuci bila terkena dengannya
sehingga hilang bau, warna, dan tanda-tandanya.



Daftar Pustaka


1). Al-Qur’anul Karim


2). Tafsir Ibnu Katsir,
Al-Imam Abul Fida’ Ismail bin Karsir AL-Qurasyi Ad-Dimasqi, cetakan 1,
penerbit Darur Rayah, Riyadl – Saudi Arabia, th. 1414 H / 1993 M.


3). Tafsir Ruhul Ma`ani,
Al-Imam Abil Fadl Shihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi,
cetakan 1, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut – Libanon, 1415 H / 1994 M.


4). Tafsir Ahkamul Qur’an,
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibnul Arabi Al-Maliki, cetakan
1, Daru Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, th. 1376 H / 1957 M.


5). Al-Muhalla bil Atsar, Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Darul Fikr, Beirut – Libanon, tanpa tahun.


6). Ar-Raudlatun Nadiyah Syarah Ad-Durarul Bahiyyah, As-Sayyid Al-Imam Al-`Allamah Abit Thayyib Shiddiq Hasan Khan, tanpa tahun.


7). At-Ta`liqatur Radliyah `alar Raudlatin Nadiyyah,
Al-`Allamah Al-Muhaddits As-Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani,
cetakan pertama, Daru Ibni Affan, Kairo – Mesir, th. 1420 H / 1999 M.


8). Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-Munawarrah – Saudi Arabia, th. 1416 H / 1995 M.


9). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Al-Imam Abi Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, cetakan 1, Darul Fikr, Beirut – Libanon, th. 1417 H / 1996 M.


10). Al-Hawi Al-Kabir, Al-Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Darul Fikr, Beirut – Libanon, th. 1414 H / 1994 M.




Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib


Dikutip sesuai bunyi aslinya dari www.alghuroba.org



No comments: